Rabu, 20 Januari 2016

"BERITA PAPUA BARAT"


Wednesday, January 20, 2016

PAPUA Merdeka, Tinggal Soal Waktu

 OLEH: DEREK MANANGKA
THEO Waemuri sebelum menjadi Dubes RI untuk Namibia, salah satu negara di Afrika, pada satu pertemuan yang tidak disengaja, menyatakan sebuah keyakinannya yang sangat kuat. Bahwa Papua kelak akan menjadi sebuah negara merdeka.

"Bung, cepat-cepat bikin KTP Irian. Sebab kita orang so mo merdeka. Begitu kami merdeka, bung pindah ke sana. Torang bangun Irian jadi Swiss-nya Asia," ujar Theo dalam logat daerah di tahun 1996.

Ketika itu nama Papua belum digunakan. Selain Papua masih bernama Irian Jaya dari sebelumnya Irian Barat, Papua belum dimekarkan dua provinsi: Papua dan Papua Barat.

Ketika percakapan kami itu terjadi, 20 tahun lalu, Indonesia masih dipimpin oleh sebuah rezim militer yang sangat kuat.

Selain itu, Jenderal Soeharto sebagai pimpinan rezim, merupakan seorang prajurit yang di era Soekarno, ditugaskan memimpin penggabungan Irian Barat ke Indonesia. Dan Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Mandala yang berkedudukan di Makassar, berhasil !

Sehingga faktor keberhasilan Soeharto memasukan Irian Barat ke NKRI, bagaimanapun sangat penting dan menentukan. Menjadi perekat Jawa dan Papua.

Saya beranggapan bekas Panglima Kostrad yang menjadi Presiden RI pada waktu itu, akan melakukan segala upaya mencegah Papua keluar dari bingkai NKRI. Soeharto tidak mau hasil pekerjaannya bagi republik menjadi sia-sia.

Selain itu pemerintahan Soeharto - di mata negara-negara Barat khususnya negara donor, masih cukup kredibel. Dan negara donor ini masih ingin mengalirkan utang dan beban bagi rezim Soeharto. Jadi negara donor menganggap Indonesia merupakan "customer" atau "client" terbaik. Sehingga mereka tak akan mau Indonesia di bawah Soeharto punya masalah.

Soeharto sendiri, secara domestik, masih dianggap sebagai figur yang tak tergantikan.

Pada tahun itu Indonesia masih santer disebut sebagai salah satu negara "Macan Asia".

Sebutan lainnya, negara yang sedang menuju ke status negara industri baru - NIC (Newly Industrialized Country).

Atas dasar itu, saya antara lain memperhitungkan gagasan Theo Waemuri tak mungkin terlaksana.

Tapi Theo Waemuri terus bersikeras. Rupanya putera Papua ini sudah memiliki peta internasional yang tertarik mendukung kemerdekaan Papua.

Dia sudah banyak mendapat masukan dari sejumlah senator Amerika Serikat yang mereka bahkan sudah membentuk Kaukus untuk mendukung aspirasi memerdekakan Papua.

Theo bertugas di KBRI Washington, ibukota sekaligus pusat kekuasaan Amerika Serikat, selama 6 tahun.

Waktu yang relatif panjang itu dimanfaatkannya secara maksimal. Dia tidak hanya berkerja bagi kepentingan Pejambon, Departemen Luar Negeri. Melainkan secara sembunyi-sembunyi juga merangkap atau "nyambi" sebagai aktifis bagi perjuangan memerdekakan Papua.

Posturnya yang mirip "African American" atau mirip penduduk asli dari Kepulauan Fiji, di Pasifik, membuatnya mudah diterima oleh Kaukus Mikronesia.

Saat itu kesadaran Theo atas kebebasan berbicara, berdemokrasi dan menentukan nasib sendiri, sudah sangat tinggi.

Rupanya 6 tahun tinggal di Washington, mengubah kepribadiannya lebih adaptif terhadap nilai-nilai Amerika ketimbang Indonesia. Nasionalisme dan kedaerahannya yang secara geografis berasal dari Bibir Pasifik, menjadi lebih kental.

Dan semua itu dia anggap sebagai bagian penting dan fundamental dari Hak Azasi Manusia (HAM).

Oleh sebab itu, Theo tidak takut untuk berbicara apa adanya. Orang Papua ingin merdeka, tidak boleh dituding pengkhianat atau pendosa.

Ketika kami berdiskusi, dia sadar sekalipun sebagai teman, di saat kami berbicara soal isu nasional, dalam diri saya juga melekat jiwa nasionalis. Wartawan hanya penegas sebuah indentitas profesi.

Dengan menyandang wartawan "Media Indonesia" pada waktu itu, dia tahu saya tidak bersetuju dengan gagasannya, memerdekakan Papua.

Tapi Theo tidak perduli dengan perbedaan kami. Sebab baginya, hak bagi rakyat Papua untuk berdaulat di atas tanah kelahiran mereka, jauh lebih penting.

Di pihak lain, ia merasa aman berdiskusi dengan saya. Karena dia menganggap sebagai putra Indonesia asal Kawanua, kami berdua memiliki persamaan dalam keminoritasan. Sehingga hal ini sebetulnya yang membuat dia cukup percaya. Bahwa apsirasi kami sebagai anggota kelompok masyarakat minoritas yang seperti dimarjinalkan, relatif sama.

Orang Papua juga banyak yang merasa berutang budi kepada etnis Kawanua, daerah asal saya. Selain banyak tenaga guru asal Kawanua yang mengajar di berbagai lembaga pendidikan Papua, cukup banyak pula mahasiswa Papua yang belajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado. "Chemistry" dalam soal perbedaan dan persamaan terjadi.

Akibat lain, hubungan etnik Kawanua atau Manado dengan etnik Papua, lebih mudah terbentuk. Logat orang Papua dalam berbahasa Indonesia, banyak yang meniru Bahasa Manado.

"Kami mau merdeka baik-baik, tidak mau bermusuhan dengan Jakarta. Dan Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa nasional kami", begitu kurang lebih Theo Waemuri berwacana.

Saya beranggapan, suara oleh saudara dari Papua ini, penting dan belum tentu pernah didengar oleh elit pengambil keputusan di pemerintah pusat. Jadi saya beruntung, karena secara individu, saya merasa dipercaya oleh tokoh Papua.

Tahun ini atau dua dekade kemudian, percakapan itu mengganggu saya. Pemahaman saya tentang keinginan rakyat Papua merdeka, berubah.

Yang terbentang di hadapan, potensi Papua menjadi sebuah negara merdeka, sangat besar. Bahkan waktunya, relatif sangat dekat. Sementara persatuan Indonesia rapuh sehingga sulit mencegah gagasan merdeka itu.

Di Papua saat ini sudah muncul banyak "Theo Waemuri". Salah satunya, Gubernur Papua, Lukas Enembe. Lukas secara terang-terangan berani menolak kunjungan Presiden Joko Widodo.

Keberanian menjadi negara merdeka ini muncul sebab Indonesia sendiri, sudah menjadi negara yang dipimpin oleh elit penakut serta tidak bersatu.

Lantas apa yang bisa diharap oleh rakyat Papua dari pemimpin berkelamin seperti itu?

Kondisi Indonesia sendiri sepertinya tidak cukup kondusif menahan arus keinginan yang kuat dari Theo Waemuri dan kawan-kawan untuk merdeka.

Persatuan Indonesia yang rapuh, menyebabkan Indonesia seperti orang sakit Asam Urat. Tidak bisa bergerak.

Akibat tidak bisa bergerak, sulit bagi bangsa ini melihat dan memperhatikan seluruh persoalan. Termasuk kekuatan bangsa melihat Papua sebagai sebuah persoalan bersama.

Papua tidak lagi dilhat sebagai aset nasional. Melainkan aset bagi beberapa kelompok kecil saja.
.
Situasi semakin parah, sebab yang berada di luar kelompok itu, tak mau peduli. Sementara apa yang sebetulnya bisa disebut kepentingan nasional definisinya menjadi kabur. Tergantung siapa yang berbicara. So, siapa peduli atau EGP - Emangnya Gue Pikirin.........

Dimulai dari Jakarta Pusat, khusus di Istana Merdeka Utara (Presiden) dan Istana Merdeka Selatan (Wakil Presiden).

Antara Merdeka Utara dan Merdeka Selatan, walaupun tidak separah permusuhan seperti Korea Utara dan Korea Selatan, tapi yang terlihat sudah satu tahun lebih, kedua duet pemimpin ini seperti bekerja menurut garis demarkasi di Dua Korea.

Kalaupun ada, persatuan duet pemimpin RI, lebih pantas disebut "persatuan atau kesatuan semu".Dan ketidak satuan antara duet ini, serta merta menyandera Indonesia. Tidak bisa bergerak lebih leluasa.

Mengahadapi isu Papua yang berpotensi menjadi sebuah negara, baru, tidak terlihat adanya keprihatinan yang tinggi dan sama di antara duet politisi nasional ini.

Presiden terkesan lebih peduli membangun infrasturktur atau Istana Kepresidenan di Papua. Semenjak dilantik jadi Presiden pada Oktober 2014, Joko Widodo tidak kurang dari 3 kali mengunjungi Papua.

Berbeda dengan Wapres Jusuf Kalla. Kesan yang ada, saudagar asal Sulawesi Selatan ini lebih fokus pada soal bisnis, khususnya eksistensi PT Freeport.

JK cenderung lebih suka memperpanjang kontrak PT Freeport di Papua dan keputusan itu harus segera. Panjang ceriteranya.

Kalau boleh disingkat, intinya, dalam soal bisnis di Papua, JK dan Jokowi, berseberangan.

Mau tidak mau hal ini membela sikap mereka terhadap Papua.

JK juga kalau tidak keliru, selama menjadi Wapres di era Jokowi, belum pernah melakukan perjalanan ke Papua. Jarang terdengar JK tertarik menengok Papua dari dekat.

Secara politik, sekalipun berkuasa, tapi de facto, pemerintahan Jokowi-JK, tidak bisa dikatakan berdaulat penuh.

Adanya Koalisi Merah Putih (KMP) yang dipimpin Prabowo Subianto, menyebabkan, (hampir) semua kebijakan rezim Jokowi relatif atau praktis tidak mendapat dukungan penuh oleh semua kekuatan di tanah air.

Dalam soal Papua, boleh jadi Prabowo Subianto merupakan orang yang sangat tidak setuju jika Papua lepas dari NKRI. Tetapi untuk mengucapkan sikap itu secara eksplisit apalagi dalam bentuk kebijakan politik oleh KMP, sepertinya tidak mungkin dilakukan Prabowo.

Hal mana membuat kebijakan Indonesia terhadap Papua menjadi terbelah.

Persatuan Indonesia semakin rapuh, jika ditambah berbagai perpecahan. Perpecahan di republik ini mungkin lebih parah dibanding penyakit korupsi.

Ada "Golkar Kembar", "PPP Kembar", "DPR Kembar", "Polri Kembar", "KPK Kembar" dan hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2015 yang juga "multi-kembar".

Yang belum ada dan semoga tidak terjadi, "RI-Kembar".

Pokoknya untuk saat ini, mencari sebuah satu kesatuan di NKRI itu, merupakan sebuah pekerjaan yang sulit. Kalau persatuan itu boleh dinilai dengan uang, harganya, super duper mahal.

Mencari persatuan nasional, sama sulitnya kita mencari satu pandangan dari dua ahli hukum.

Hasilnya bukan saja dua pandangan yang berbeda. Tetapi dua kuadrat yang berbeda sekalipun sumber hukumnya sama. Intinya, tak akan pernah ditemukan definsi yang sama tentang persatuan.

Jadi lepasnya Papua dari NKRI - semoga tidak terjadi, sebetulnya lebih disebabkan oleh tiadanya persatuan di antara bangsa Indonesia.

Kita juga tidak punya pemimpin yang bisa mempersatukan bangsa.

Dan semua persoalan ini, mudah dibaca oleh semua kalangan. Termasuk Amerika Serikat. Seperti makanan semua kelemahan Indonesia tersaji di atas meja.

Seperti wanita, Indonesia sudah telanjang bulat di atas ranjang. Sementara pintu kamar tidak terkunci.

Dan kalau Papua menjadi sebuah negara merdeka, bukan pula semata-mata karena Januari 2016 ini terjadi kunjungan Dubes AS Robert Blake ke Papua. Dimana dia dicurigai melakukan "obok-obok", merusak hubungan Papua - Jakarta atau Jawa, yang konotasinya untuk memecah persatuan Indonesia.

Benar, bahwa faktor "intervensi" AS bisa saja masuk dalam perhitungan. Dan kita sebagai "pemilik" Papua, wajib memperhitungkannya atau bersuara dan bersikap.

Tapi Papua masih atau tetap bisa dipertahankan, itu semuanya berpulang kepada bangsa Indonesia.

Apakah secara keseluruhan, kekuatan-kekuatan yang tercerai berai masih dapat bersatu ? [***]

*penulis adalah jurnalis senior
Sumber : www.rmol.co

No comments:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar