Daerah Papua hingga kini masih selalu dikait-kaitkan dengan berbagai
masalah mulai dari pertikaian antar suku, hingga permasalahan
separatisme. Posisi letak yang berada di ujung timur Indonesia dan jauh
dari pusat pemerintahan negara kita, membuat permasalahan-permasalahan
yang ada di Papua menjadi tidak terjamah. Oleh karenanya, pemerintah
Indonesia harus lebih memperhatikan lagi situasi serius di sana, karena
bila tidak, Papua bisa-bisa terlepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Hal tersebut yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
dalam Diskusi Publik Zona Damai : Membangun Harmoni di Tanah Papua, yang
diselenggarakan oleh Program Doktor Politik Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana UMY
lantai 1, pada Kamis (19/05). Buya Syafii juga menyebutkan bahwa
permasalahan rumit yang terjadi di Papua juga disebabkan faktor sejarah
Papua yang masuk NKRI, berbeda dengan cara masuknya daerah-daerah lain
ke wilayah NKRI.
Buya Syafii juga mengkritisi ketidakpahaman pemerintah terkait
permasalahan yang ada di Papua. “Pendekatan yang harusnya dipakai oleh
pemerintah untuk Papua adalah dari sisi Sosio-Antropologis. Pada
kenyataannya, pemerintah masih menggunakan pendekatan militer, dan
pendidikan di Papua juga masih terbelakang seperti orang-orang Papua
tidak mengenal pahlawan-pahlawan nasional Indonesia,” jelas Buya Syafii.
Disamping itu, Pakar Ahli dari UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Munir
Mulkhan melihat bahwa permasalahan di Papua hanya dapat diselesaikan
dengan aksi kemanusiaan dan bukan Militer. “Di sini saya ingin mengambil
contoh dari Suyoto, bupati Bojonegoro yang sudah dua kali memimpin
Bojonegoro dan sukses. Semua orang yang memilihnya tidak ia janjikan
jabatan di pemerintahan atau uang. Tapi ia melakukan gerakan nyata
dengan membangun jalan-jalan dan lain sebagainya. Sehingga ia dipercaya
oleh masyarakat Bojonegoro hingga mempimpin dua kali,” terang Prof.
Munir.
Prof. Munir juga memberikan contoh bahwa Muhammadiyah menolong kaum
yatim piatu dan lain-lain bukan dengan harapan agar orang yang ditolong
kemudian akan masuk Islam atau masuk Muhammadiyah. Melainkan murni untuk
kemanusiaan. “Meski Muhammadiyah menolong orang sesuai dengan ajaran
Islam, tapi tujuan utama menolong itu adalah untuk kemanusiaan. Sehingga
kaitannya dengan Papua, yang dapat kita kedepankan adalah menolong
masyarakat Papua dari sisi kemanusiaan, dan bukannya militer,” tegas
Prof. Munir.
Di Papua sendiri, banyak kasus yang tidak diungkapkan ke publik dan
hanya diketahui oleh masyarakat Papua. Beberapa kasus tersebut
diungkapkan oleh Ade Yamin, M.A., dosen STAIN Al-Fatah di Papua dan
merupakan mahasiswa program Doktor UMY. “Orang-orang Papua menganggap
bahwa orang Papua asli adalah mereka yang berkulit hitam dan berambut
keriting. Saya yang berkulit hitam namun berambut lurus pun bisa
dikatakan sebagai kaum pendatang. Dan di Papua, hanya orang-orang asli
Papua yang diperbolehkan memimpin suku, bahkan menjadi pejabat-pejabat
daerah,” terang Yamin.
Ade Yamin juga mengungkap bahwa pemerintah masih menggunakan militer
dalam pendekatan terhadap orang-orang Papua. “Banyak orang-orang Papua
berkulit hitam berambut keriting yang sering ditembaki oleh
tentara-tentara di Papua. Oleh karena itulah, masyarakat Papua
menganggap masyarakat pendatang sebagai ancaman,” jelas Ade Yamin.
Dengan demikian, Zuly Qodir selaku moderator menyimpulkan bahwasanya
Pemerintah harus lebih efektif mendekati masyarakat Papua dengan
pendekatan kemanusiaan dan bukannya Militer. Selain itu Zuly Qodir
menerangkan bahwa Bilver Sigh, profesor dari National University of
Singapore pernah mengatakan bahwa apabila Papua melakukan referendum
lagi, bisa dipastikan mereka akan merdeka atau terlepas dari NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar